Wednesday, January 25, 2006

Longsor (Lagi) di Jember

pada awal tahun 2006 ini hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita memilukan mengenai bencana alam yang terjadi di seluruh pelosok negeri. banjir bandang di jember, longsor di banjarnegara, banjir di probolinggo, riau, lombok, dan hari ini jember kembali dilanda longsor.

saya malah khawatir, jangan-jangan saking seringnya bencana, lama-lama kita malah menganggapnya biasa. lalu kita jadi lupa untuk peduli. lalu kita menganggapnya sebagai tradisi; yang bukannya dihilangkan, tetapi justru dilestarikan.

seharusnya pemerintah lebih serius menangani persoalan ini. buruknya pencegahan bencana dan penanganan pasca bencana adalah suatu masalah sosial yang senantiasa berulang. perlu berapa banyak lagi orang yang mati untuk menyadarkan pemerintah akan arti penting dari penanganan bencana ini? perlu berapa banyak banjir dan longsor lagi? perlu apa lagi?

menurut saya presiden harus memaksa menteri-menteri terkait dalam hal ini untuk membuat disaster prevention plan, disaster emergency/evacuation plan, dan post-disaster/recovery and reconstruction plan. pecat saja menteri-menteri itu kalau tidak becus menjalankan tugasnya.

Tuesday, January 24, 2006

Robohnya Tower TV7

3 orang meninggal dunia, 14 orang menderita luka, dan sedikitnya 9 rumah mengalami kerusakan akibat tertimpa tower TV 7 yang berlokasi di kelapa dua, kebon jeruk, jakarta barat. tower tersebut sebenarnya direncanakan berdiri setinggi 300 m. namun saat tower tersebut roboh, pembangunannya baru mencapai 104 meter.

konon kabarnya ada sedikitnya 36 warga desa di sekitar lokasi pembangunan tower yang dahulu sempat menolak pembangunan tower tersebut. bukti penolakan tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh ke-36 orang warga tersebut. tapi menurut pihak TV 7, mereka belum pernah menerima surat penolakan tersebut. bahkan mereka justru mengklaim sudah memperoleh surat persetujuan warga dan persetujuan aparat desa setempat untuk membangun tower. silang pendapat itu menunjukkan bahwa ada proses yang agak kurang beres dalam pembangunan tower tersebut.

dalam konteks yang lebih luas, kita perlu peka dengan persoalan ini. jika kita perhatikan, lama-kelamaan lingkungan hunian kita makin dipadati oleh pembangunan tower-tower yang menjulang tinggi. entah itu tower pemancar televisi, radio, BTS untuk telekomunikasi, sampai tower SUTET. selain itu, semakin banyak pula billboard, baliho, dan poster-poster berukuran raksasa yang dipasang mengangkangi rumah, jalan, dan fasilitas umum lain.

kemarin kita sudah lihat dampak dari robohnya 1 buah tower. bagaimana jika tower-tower yang lain juga roboh? bagaimana jika billboard, baliho, dan poster-poster raksasa yang lain juga roboh? saya saja ngeri membayangkannya. mungkin yang mati akan lebih banyak. mungkin jalan akan macet lagi berjam-jam. mungkin rumah yang rusak akan lebih banyak lagi.

karena itu tidak ada pilihan lain, pembangunan tower dan billboard raksasa harus diatur agar tidak boleh mengangkangi rumah atau jalan. jika itu tidak dimungkinkan, maka pihak pembangun harus menyiapkan disaster emergency/evacuation plan. jadi kalau ada apa-apa mereka sudah punya prosedur mengenai apa yang harus dilakukan. mudah-mudahan dengan cara seperti itu, kita bisa mencegah timbulnya korban yang lebih besar akibat adanya tower dan billboard raksasa.

Monday, January 23, 2006

Rancangan PERPU Seleksi Hakim Agung

hari ini diberitakan bahwa Komisi Yudisial (KY) tetap keu-keuh untuk melanjutkan upayanya membuat rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengenai seleksi ulang hakim agung, WALAUPUN beberapa anggota DPR menolaknya. beberapa waktu sebelumnya, jajaran hakim agung di Mahkamah Agung juga sudah menyampaikan keberatannya.

fenomena apa lagi ini? apa sih alasan dikeluarkannya PERPU? mari kita analisis.

menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undng PERPU adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. persoalan paling mendasar disini ialah tidak adanya kriteria yang otoritatif untuk menentukan 'kegentingan yang memaksa.' akibatnya tidak jelas kapan suatu keadaan dapat dinyatakan genting dan kapan tidak. kondisi ini sangat berbahaya jika negara dipimpin oleh seorang tiran/diktator, karena ia bisa seenaknya membuat perpu dengan alasan kegentingan yang memaksa.

pada masa presiden habibie dikeluarkan 2 perpu, yaitu Perpu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Perpu No 1/1999 dan Perpu No 2/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum (Perpu Unjuk Rasa) yang kemudian dicabut Pemerintah karena ditolak masyarakat. keluarnya kedua perpu itu juga tidak disertai dengan kejelasan mengenai keadaan 'kegentingan yang memaksa.'

pada masa presiden megawati, pemerintah menetapkan perpu no 2 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dalam kasus bom bali, kontroversi semacam ini pernah terjadi. saat itu dipersoalkan, apakah 1 kejadian (bom bali) sudah cukup untuk menyatakan negara dalam 'kegentingan yang memaksa.' toh pada kenyataannya, perpu tersebut lolos juga.

jika kita memandang proses pembentukan perpu hanya sebagai suatu proses politik hukum semata, maka keluarnya perpu-perpu tersebut tanpa alasan yang jelas mengenai kondisi 'kegentingan yang memaksa' menunjukkan adanya tekanan politik yang memaksa perpu tersebut harus jadi. tapi jika kita memandang proses pembentukan perpu tersebut secara akademis, maka kita seharusnya dapat memandang bahwa perpu-perpu tersebut inkonstitusional.

menurut saya, sebelum suatu perpu dikeluarkan, pemerintah seharusnya menyatakan secara resmi bahwa negara dalam kegentingan yang memaksa. pernyataan resmi itu artinya pernyataan itu harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. setelah adanya pernyataan resmi itu, barulah perpu dapat dikeluarkan.

jika kita cermati kasus Rancangan Perpu Seleksi Ulang Hakim Agung ini, tampak bahwa keadaan darurat korupsi sebagaimana dinyatakan KY baru sebatas wacana. secara substansial saya sepakat dengan KY mengenai keadaan darurat korupsi ini. akan tetapi, hukum tidak hanya menyangkut aspek-aspek material. melainkan juga menyangkut aspek-aspek formal. oleh karena itu, ada baiknya jika KY hendak melanjutkan niatnya merancang perpu tersebut, KY mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang menyatakan negara dalam kegentingan yang memaksa dalam hal penanggulangan korupsi. tanpa adanya pernyataan resmi semacam itu, maka jika pun rancangan perpu seleksi hakim agung itu jadi ditetapkan, saya menganggap kedudukannya sama dengan perpu-perpu sebelumnya. yaitu: INKONSTITUSIONAL.

Press Release KPP

Cabut SK Perpanjangan Pensiun 10 Hakim Agung
Jumat, 20-Januari-2006, 18:28:47

Pernyataan Pers Bersama
Koalisi Pemantau Peradilan

CABUT SK PERPANJANGAN PENSIUN 10 HAKIM AGUNG

Di tengah gencarnya isu mengenai Seleksi Ulang Hakim Agung yang digulirkan oleh Komisi Yudisial masyarakat kini digemparkan lagi oleh satu pemberitaan yang terkait dengan Hakim Agung, yaitu keluarnya 2 (dua) SK Ketua MA tentang Perpanjangan Usia Pensiun Sebagai Hakim Agung. Yaitu SK Nomor: KMA/119/SK/VI/2005 tertanggal 20 Juni 2005. SK tersebut memperpanjang masa pensiun 9 (sembilan) orang Hakim Agung yaitu: (1) Ny Susanti Adi Nugroho; (2) Ny. Titiek Nurmala Siagian; (3) M. Bahaudin Qoudry; (4) Ny. Marianna Sutadi Nasution; (5) H. Parman Suparman; (6) Kaimuddin Salle; (7) Iskandar Kamil; (8) Sudarno; dan (9) German Hoediarto.

Kemudian, sebagai hasil rapat pleno Hakim Agung pada 14 Juli 2005 yang dipimpin Mariana Sutadi (wakil ketua MA bidang non yudisial), ditetapkan perpanjangan masa jabatan Prof. Dr. BAGIR MANAN,SH, M.CL lewat SK Nomor KMA/127A/SK/VII/2005 yang ditandatangani sendiri oleh ketua MA pada tanggal 18 Juli 2005.

Di dalam kedua SK tersebut ada beberapa pertimbangan yang dikemukakan, yaitu:
a. Tunggakan perkara di MA yang masih cukup banyak, sementara untuk menambah Hakim Agung dalam waktu dekat tidak memungkinkan;
b. Hakim Agung yang bersangkutan mempunyai keahlian khusus di bidang hukum yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara-perkara di MA;
c. berdasarkan keterangan dokter, Bagir Manan dan 9 Hakim Agung tersebut masih cukup sehat jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai Hakim Agung;
d. Berdasarkan penilaian Ketua MA, kesembilan Hakim Agung yang bersangkutan telah menjalankan tugas-tugas dengan baik.

Sementara khusus dalam SK yang memperpanjang Bagir Manan secara spesifik disebutkan pertimbangan bahwa MA masih memerlukan Hakim Agung yang memiliki keahlian khusus di bidang Hukum Tata Negara dalam menyelesaikan perkara khusus di bidang Tata Usaha Negara.

Selain itu, salah satu dasar pertimbangan Ketua MA untuk memperpanjang usia pensiunnya dan 9 Hakim Agung yang lain adalah Surat Wakil Sekretaris Kabinet RI nomor: R.06/waseskab/05/04 tanggal 21 Mei 2004, yang menyatakan bahwa untuk perpanjangan masa jabatan Hakim Agung pada MA sepenuhnya tergantung pada penilaian MA.

Terhadap fakta tersebut ada beberapa hal yang layak jadi perhatian:
1. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disebutkan bahwa ”Dalam hal Hakim Agung telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun, dapat diperpanjang sampai dengan 67 (enam puluh tujuh) tahun, dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter.
(Penjelasan Pasal 11 (2) Yang dimaksud dengan “prestasi kerja luar biasa” dalam ketentuan ini, diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
2. Pasal 13 UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyebutkan bahwa kewenangan Komisi yudisial adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
3. Pasal 14 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyebutkan bahwa Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
4. Pasal 20, 21, dan 24 UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyatakan bahwa intinya Komisi Yudisial berwenang melakukan pengawasan terhadap hakim (termasuk Hakim Agung), memberikan peringatan tertulis, merekomendasikan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap, termasuk merekomendasikan pemberian penghargaan bagi hakim (termasuk Hakim Agung);
5. Pasal 14 UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa tugas komisi Yudisial adalah melakukan pendaftaran, seleksi, penetapan dan pencalonan Hakim Agung.

Terhadap fakta dan pertimbangan hukum yang ada, kami berpendapat bahwa:
1. Jika merujuk pada Pasal 11 ayat (2) UU MA, terdapat beberapa persoalan. Pertama bahwa terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk memperpanjang masa pensiun Hakim Agung, yaitu adanya PRESTASI LUAR BIASA dan keterangan dokter yang menyatakan sehat jasmani dan rohani.

UU MA memang tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan Prestasi Luar Biasa tersebut, penjelasan pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud Prestasi Kerja Luar Biasa diatur oleh ketentuan MA sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dilihat dari penjelasan pasal tersebut maka kewenangan MA seharusnya HANYALAH menentukan KRITERIA dari Prestasi (kerja) Luar Biasa yang dimaksud, itu pun harus SESUAI dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dan setiap perpanjangan masa pensiun Hakim Agung harus didasarkan pada ketentuan tersebut (yang hingga saat ini belum pernah dirumuskan). Adapun pengambilan keputusan soal perpanjangan masa jabatan Hakim Agung, harus melibatkan pihak eksternal, terutama Komisi Yudisial, sehingga pelaksanaannya tidak sepihak/subjektif.

Selain itu jika dilihat dari konsideran kedua SK di atas, MA (Ketua MA) tidak menyinggung sedikit pun mengenai PRESTASI LUAR BIASA apa yang telah dicapai oleh DIRINYA serta 9 (sembilan) orang Hakim Agung lainnya. MA (Ketua MA) hanya menyebutkan bahwa mereka (9 orang Hakim Agung) telah menjalankan tugas-tugas dengan baik.

2. Pertimbangan banyaknya tunggakan perkara di MA sebagai dasar perpanjangan pensiun Hakim Agung tidak tepat dan terkesan dicari-cari. Karena diperpanjangnya masa pensiun 10 Hakim Agung tersebut juga tidak menjamin masalah tunggakan perkara di MA sebanyak 20 ribu lebih perkara akan selesai.

3. Pertimbangan bahwa Hakim Agung yang bersangkutan mempunyai keahlian khusus di bidang hukum yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara-perkara di MA selain BUKAN merupakan syarat yang ditentukan oleh UU MA untuk perpanjangan pensiun Hakim Agung juga dinilai mengada-ada. Sebab jika memerlukan Hakim Agung yang memiliki keahlian khusus, bukankah MA dapat meminta Komisi Yudisial untuk melakukan proses rekrutmen Hakim Agung?

4. Surat Wakil Sekretaris Kabinet RI nomor R.06/waseskab/05/04 tanggal 21 Mei 2004, yang menjadi dasar pertimbangan MA untuk memperpanjang sendiri masa pensiun Hakim-Hakim Agungnya, tidak memiliki konsekuensi hukum apapun, oleh karena surat tersebut dibuat pada 21 Mei 2004, jauh sebelum UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan (13 Agustus 2004). Atas dasar tersebut maka seharusnya Surat Wasekab tersebut harus diabaikan Tidak pantas Surat pejabat yang sudah berusia lebih dari 1 tahun, yang tidak punya kekuatan hukum apa-apa, dan materinya tidak sesuai lagi dengan UU Komisi Yudisial yang diundangkan beberapa bulan berikutnya, masih dijadikan pertimbangan oleh MA untuk memanjangkan masa jabatan Hakim-Hakim Agung-nya pada 2005.

5. Langkah yang dilakukan Ketua MA harus dinilai sebagai pengingkaran pimpinan MA terhadap keberadaan Komisi Yudisial. Dalam hal adanya Hakim Agung yang akan pensiun seharusnya Pihak MA melaporkan hal tersebut kepada Komisi Yudisial. Berdasarkan pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial menyebutkan “Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut”. Selanjutnya Komisi Yudisial melakukan proses-proses pengusulan calon Hakim Agung kepada DPR RI.

6. Pengingkaran terhadap keberadaan Komisi Yudisial juga semakin tegas jika dilihat tercapainya usia 65 tahun para Hakim Agung tersebut, sebagian besar terjadi pada akhir 2006 (setelah Komisi Yudisial terbentuk dan bekerja). Untuk apa Ketua MA mengeluarkan Surat Keputusan lebih dari satu tahun SEBELUM Hakim-Hakim Agung tersebut mencapainya usia 65 tahun (20 Juni 2005 dan 18 Juli 2005), kalau tidak untuk melangkahi Komisi Yudisial yang baru dilantik Presiden pada tanggal 2 Agustus 2005?

7. Secara hukum, SK Ketua MA batal demi hukum karena terbukti bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD 45) serta UU No 5 tahun 2004 dan UU No. 22 tahun 2004.

8. Tindakan Ketua/Pimpinan MA dengan mengeluarkan SK perpanjangan pensiun merupakan suatu yang tidak etis dan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk dilakukan seleksi ulang hakim agung.


Berdasarkan uraian di atas kami menuntut Ketua MA :
1. Mencabut dua SK mengenai perpanjangan pensiun bagi dirinya dan 9 Hakim Agung lainnya
2. Memberitahukan Hakim-Hakim Agung yang akan pensiun kepada Komisi Yudisial untuk segera melakukan proses seleksi calon Hakim Agung sebagaimana dimandatkan oleh UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.


Jakarta, 20 Januari 2006
Koalisia Pemantau Peradilan

1. Teten Masduki (Indonesia Corruption Watch)
2. Firmansyah Arifin (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional)
3. Uli Parulian (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta)
4. Hasril Hertanto (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI)
5. Arsil (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indenpendensi Peradilan)
6. Binziyad Khadafi (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan)

------------------
Nb.
SK Ketua MA tentang Perpanjangan Masa Pensiun dapat dilihat di www.antikorupsi.org

Friday, January 20, 2006

Kenaikan Tarif Dasar Listrik

dua menteri di kabinet indonesia bersatu baru-baru ini saling berbeda pendapat mengenai kenaikan tarif dasar listrik. pak paskah suzetta, kepala bappenas, menyebutkan bahwa TDL industri mungkin akan naik sampai 100%. sedangkan pak purnomo yusgiantoro, menteri esdm, menyangkal info dari pak paskah. dia mengatakan bahwa besaran kenaikan itu belum diputuskan dan masih dalam tahap pengkajian.

namun demikian, terlepas dari berapa besaran kenaikannya, hampir dapat dipastikan kenaikan itu akan terjadi. pak purnomo sendiri mengindikasikan itu. menurutnya, Pemerintah mengasumsikan PLN memerlukan subsidi Rp 38 triliun. dari jumlah tersebut, pemerintah hanya memberikan Rp 17 triliun. "sisanya Rp 21 triliun ini yang masih akan dikaji lagi dan belum pasti berapa yang akan dibebankan ke pelanggan."

berapapun besarnya, kenaikan TDL sepertinya akan tetap menyakitkan bagi masyarakat. chain of reactionnya biasanya akan seperti ini. TDL naik - biaya produksi naik - harga naik atau harga tetap kualitas turun. industri dalam negeri yang notabene kalah modal dengan asing pelan-pelan akan tergusur. jika kondisi ini dibiarkan terus, suatu hari nanti mungkin asing lah yang akan menjadi raja di rumah kita. cuma ada satu kata: LAWAN!

Tuesday, January 17, 2006

DPR Voting Impor Beras

hari ini diberitakan bahwa para anggota DPR melakukan voting untuk memutuskan apakah akan memasukkan usul hak angket terhadap impor beras dalam agenda kerja atau tidak. hasilnya, anggota dewan yang mendukung penambahan agenda antara lain dari FPDIP sebanyak 83 orang, FPAN 41 orang, FPPP 29 orang, FPKB 8 orang, FPKS 33 orang, FPDS 9 orang, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi 4 orang. Sedangkan yang menolak adanya penambahan, dari FPG sebanyak 109 orang, FPD 45 orang, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi 8 orang dan FPBR 5 orang. Setelah dihitung secara keseluruhan, yang mendukung penambahan agenda sebanyak 207 orang, sedangkan yang menolak 167 orang, dari total anggota yang hadir sebanyak 374 orang.

apa sih sebenarnya efek dari hak angket tersebut terhadap pemerintah? mari kita analisis.

hak angket merupakan hak dari DPR berdasarkan ketentuan pasal 27 UU NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. pengertian hak angket secara sederhana ialah hak untuk mempertanyakan dan menyelidiki alasan pemerintah dalam memberlakukan suatu kebijakan.

dengan diagendakannya hak angket impor beras, berarti DPR dapat mempertanyakan dan menyelidiki alasan pemerintah dalam melakukan impor beras. jika dalam penyelidikan tersebut ditemui indikasi korupsi, maka pihak-pihak yang terkait dapat dilaporkan ke KPK untuk diproses lebih lanjut.

jika indikasi korupsi tersebut merembet sampai ke level presiden dan/atau wakil presiden, maka presiden dan/atau wakil presiden dapat di-impeach atau diturunkan. namun, proses impeachment tersebut baru dapat dilakukan setelah MK menyatakan bahwa dugaan korupsi tersebut benar adanya.

Monday, January 16, 2006

Perlawanan Badrul Kamal

pada hari ini, mendagri menyatakan bahwa ia sudah meneken surat keputusan penetapan pak nurmahmudi sebagai walikota depok dan ia juga sudah mengirim surat tersebut ke gubernur jawa barat. dengan demikian, bola kini berada di tangan gubernur jawa barat, karena dia lah yang menentukan tanggal pelantikan sekaligus sebagai pihak yang melantik walikota baru tersebut. di sisi lain, pak badrul marah-marah dengan keputusan mendagri dengan alasan ketetapan mendagri itu tidak fair karena ia masih dalam proses melakukan perlawanan terhadap putusan MA yang menganulir putusan PT Jawa Barat. perlawanannya sendiri adalah mengajukan uji materil terhadap putusan MA ke mahkamah konstitusi.

tepatkah upaya hukum yang dilakukan pak badrul? apakah MK dapat melakukan uji materil terhadap putusan MA? mari kita analisis.

MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 10 UU 24 Tahun 2003 Tentang MK.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutuskan pembubaran partai politik, dan
4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum

ad 1.
putusan MA bukan suatu Undang-Undang. sedangkan, dalam ketentuan di atas jelas disebutkan bahwa MK hanya bisa melakukan uji materil terhadap UU. kesimpulannya, MK tidak berwenang menguji putusan MA. jikapun pak Badrul meminta MK menguji pasal dalam UU Pemilu yang menyatakan bahwa putusan PT bersifat final. itupun bukan termasuk kewenangan MK.

ad 2.
pemohon sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. pak badrul bukan termasuk lembaga negara. kesimpulannya, pak badrul tidak bisa menggunakan ketentuan ini.

ad 3.
kasus pilkada depok adalah mengenai penetapan pemenang pilkada dan bukan pembubaran parpol. jadi jelas, ketentuan ini tidak relevan.

ad 4.
dalam pasal 74 ayat (2) disebutkan bahwa Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang bla....bla...bla...
kasus pak badrul kan lingkupnya daerah, bukan nasional. jadi ketentuan ini juga enggak bisa dijadikan dasar. lagipula, kalo pasal ini bisa digunakan, tim pengacara pak nurmahmudi juga akan menggunakan ini untuk menggugat putusan PT jawa barat, selain menggunakan upaya hukum PK.

beranjak dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasar hukum di MK untuk menerima permohonan pak badrul. lagipula, dalam sistem hukum kita, mana ada konsep perlawanan setelah keluar putusan PK. itu jelas-jelas ngaco.

mudah-mudahan setelah dilantik, pak nurmahmudi bisa mengemban amanah warga depok dengan baik.

Friday, January 13, 2006

Kekacauan Bahasa Hukum

hukum memiliki arti yang penting dalam kehidupan kita. ia dapat memaksa kita untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya melarang kita melakukan sesuatu. atas dasar hukum pula, kita dapat memiliki suatu hak dan sebaliknya kita juga dapat kehilangan hak kita.

persoalannya, hukum tidak selalu mudah dimengerti. padahal, masyarakat dipaksa untuk patuh terhadap hukum. lebih parahnya lagi, hukum sering tidak mengatur akar persoalan dari masalah yang dihadapi masyarakat. bahkan, hukum sering hanya dijadikan alat untuk membenarkan kepentingan pribadi. akibatnya, hukum tidak efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. ujung-ujungnya orang tidak lagi hormat pada hukum.

untuk mengatasi persoalan itu, kita bisa mulai dengan membenahi bahasa hukum kita dulu. ambil contoh undang-undang no. 18/2002 tentang sistem nasional penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan iptek. di situ disebutkan definisi Menteri dan disisi lain disebutkan pula istilah pemerintah. rumusan itu akan menimbulkan pertanyaan, bukankah menteri adalah pemerintah juga, tapi kenapa dipisahkan? selain itu ada pula UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. rumusan judul itu aneh sekali. apakah ikan tidak termasuk hewan? saya yakin ada banyak lagi contoh lain. mungkin jika kawan-kawan ada yang punya dapat diposting disini.

singkatnya, saya hanya ingin menyampaikan ide, jika kita bisa benahi bahasa hukum kita, mudah-mudahan hukum akan lebih mudah dipahami oleh awam. tentu saja hukum tersebut harus pula dirancang untuk menjadi solusi atas persoalan sosial yang ada. dengan itu, diharapkan hukum akan lebih efektif.