Monday, January 23, 2006

Rancangan PERPU Seleksi Hakim Agung

hari ini diberitakan bahwa Komisi Yudisial (KY) tetap keu-keuh untuk melanjutkan upayanya membuat rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengenai seleksi ulang hakim agung, WALAUPUN beberapa anggota DPR menolaknya. beberapa waktu sebelumnya, jajaran hakim agung di Mahkamah Agung juga sudah menyampaikan keberatannya.

fenomena apa lagi ini? apa sih alasan dikeluarkannya PERPU? mari kita analisis.

menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undng PERPU adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. persoalan paling mendasar disini ialah tidak adanya kriteria yang otoritatif untuk menentukan 'kegentingan yang memaksa.' akibatnya tidak jelas kapan suatu keadaan dapat dinyatakan genting dan kapan tidak. kondisi ini sangat berbahaya jika negara dipimpin oleh seorang tiran/diktator, karena ia bisa seenaknya membuat perpu dengan alasan kegentingan yang memaksa.

pada masa presiden habibie dikeluarkan 2 perpu, yaitu Perpu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Perpu No 1/1999 dan Perpu No 2/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum (Perpu Unjuk Rasa) yang kemudian dicabut Pemerintah karena ditolak masyarakat. keluarnya kedua perpu itu juga tidak disertai dengan kejelasan mengenai keadaan 'kegentingan yang memaksa.'

pada masa presiden megawati, pemerintah menetapkan perpu no 2 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dalam kasus bom bali, kontroversi semacam ini pernah terjadi. saat itu dipersoalkan, apakah 1 kejadian (bom bali) sudah cukup untuk menyatakan negara dalam 'kegentingan yang memaksa.' toh pada kenyataannya, perpu tersebut lolos juga.

jika kita memandang proses pembentukan perpu hanya sebagai suatu proses politik hukum semata, maka keluarnya perpu-perpu tersebut tanpa alasan yang jelas mengenai kondisi 'kegentingan yang memaksa' menunjukkan adanya tekanan politik yang memaksa perpu tersebut harus jadi. tapi jika kita memandang proses pembentukan perpu tersebut secara akademis, maka kita seharusnya dapat memandang bahwa perpu-perpu tersebut inkonstitusional.

menurut saya, sebelum suatu perpu dikeluarkan, pemerintah seharusnya menyatakan secara resmi bahwa negara dalam kegentingan yang memaksa. pernyataan resmi itu artinya pernyataan itu harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. setelah adanya pernyataan resmi itu, barulah perpu dapat dikeluarkan.

jika kita cermati kasus Rancangan Perpu Seleksi Ulang Hakim Agung ini, tampak bahwa keadaan darurat korupsi sebagaimana dinyatakan KY baru sebatas wacana. secara substansial saya sepakat dengan KY mengenai keadaan darurat korupsi ini. akan tetapi, hukum tidak hanya menyangkut aspek-aspek material. melainkan juga menyangkut aspek-aspek formal. oleh karena itu, ada baiknya jika KY hendak melanjutkan niatnya merancang perpu tersebut, KY mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang menyatakan negara dalam kegentingan yang memaksa dalam hal penanggulangan korupsi. tanpa adanya pernyataan resmi semacam itu, maka jika pun rancangan perpu seleksi hakim agung itu jadi ditetapkan, saya menganggap kedudukannya sama dengan perpu-perpu sebelumnya. yaitu: INKONSTITUSIONAL.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home