Tuesday, October 18, 2005

Selaras

aku tak kenal dengan mereka. tapi jalan pikiran kita hampir sama. keduanya menulis di opini KOMPAS hari ini, selasa, 18 Oktober 2005.

yang pertama bernama Sri Palupi. pada bagian akhir tulisannya yang berjudul, 'Subsidi dan Kesesatan Cara Pandang' tertera keterangan singkat yang menyebutkan bahwa dia adalah mahasiswa Pascasarjana STF Driyakarya dan sekaligus Ketua Institute for Ecosoc Rights. aku gembira sekali dia mengangkat isu hutang luar negeri dan subsidi perbankan/konglomerat dalam tulisannya. sudah beberapa waktu ini aku memang agak gelisah dengan berbagai kampanye pemerintah yang berkaitan dengan kenaikan BBM. aku pikir kampanye-kampanye mereka itu membodohi rakyat. kampanye yang mereka gaungkan melulu bicara seolah-olah subsidi BBM adalah pengeluaran negara yang paling menghambat kemajuan bangsa. aku geram sekali dengan logika itu. sebab sudah jelas bahwa para industrialis, borjuis, dan birokrat korup lah yang menghambat kemajuan bangsa ini. perhatikan saja fakta-fakta yang diungkapkan Sri dalam tulisannya.
pada tahun 2000, pemerintah menghabiskan dana APBN sebesar 257 Triliun kepada industri perbankan, padahal nilai total subsidi untuk BBM, listrik, pangan, kesehatan, pendidikan, dan pertanian pada tahun yang sama hanya 30,828 Triliun. pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan Letter of Release and Discharge senilai 75 Triliun kepada sejumlah konglomerat. lebih sakit lagi hati ini, karena kita tahu bahwa 'bantuan' ke industri perbankan tersebut begitu banyak yang dikorup dan tidak jelas penegakan hukumnya, dan begitu mewahnya kantor dan gaya hidup para pejabat BPPN, padahal jutaan orang bangsa Indonesia lain susah makan.

hutang luar negeri kita besarnya bukan kepalang. makanya jangan heran kalau banyak penerimaan negara yang akhirnya tersedot untuk aspek itu saja. cerita orang-orang di dirjen haki tentang minimnya anggaran yang tersedia untuk mereka, padahal instansi ini banyak menyetor ke kas negara, bukanlah satu-satunya cerita di negeri ini. aku rasa sebagian besar instansi teknis mengalami masalah serupa; dan aku yakin minimnya anggaran itu, karena alokasi pengeluaran negara banyak tersedot untuk bayar utang. sedih sekali hati ini. apalagi jika aku ingat bahwa pada zaman dulu, seringkali orang yang berhutang dan tidak sanggup bayar kemudian dijadikan budak oleh si pemberi utang. jangan-jangan para pemberi utang itu sudah melihat kita sebagai budaknya. aaaaarggghhh.....aku tak rela. aku setuju dengan Pak Kwik Kian Gie. utang memang harus dibayar, tetapi dengan jumlah yang sesuai dengan kemampuan kita. biarin aja kita ditekan oleh mereka. jangan bergeming. toh mereka juga butuh kita kok. pada titik tertentu mereka pasti akan kompromi juga.

yang kedua bernama Herry Tjahjono, seseorang yang mengklaim sebagai Corporate Culture Therapist. ia memberi judul tulisannya 'Presiden yang Kesepian.' disana ia melihat ketidakberdayaan Presiden SBY dalam menghadapi orang-orang disekelilingnya yang disinyalir memiliki posisi politis, sosial, dan ekonomik yang lebih kuat, sehingga ada joke bahwa SBY memang Kepala Negara, tetapi bukan Kepala Pemerintahan. ia menyimpulkan itu dari fakta-fakta 'kecil tapi esensial' yang dicatatnya, seperti keterlambatan waktu pengumuman kabinet dan waktu pengumuman kenaikan BBM. aku juga memiliki pemahaman yang sama dengan Pak Herry mengenai posisi Presiden SBY sekarang dan aku setuju bahwa Presiden SBY harus mengambil pilihan yang sulit. dia harus berani menjadi ksatria rakyat yang tidak gentar berhadapan dengan siapapun untuk membela rakyat, walaupun yang dihadapinya adalah wakilnya sendiri. aku rasa bapak bisa memulainya dengan mengganti Menko Perekonomian yang jelas-jelas tidak punya empati terhadap suasana batin rakyat. penggantian dia akan membuat bapak berhadapan langsung dengan wakil bapak sendiri, tapi akan membuat bapak menjadi lebih dekat dengan kami, sang pemilik republik ini, rakyat indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home