Monday, March 29, 2004

Pengemis di Madison

...

di sepanjang jalan utama kota Madison, state street, ada beberapa orang pengemis. satu orang di depan walgreen, satu orang di depan starbuck, satu orang di seberangnya pot belly, dan beberapa orang lagi mangkal di daerah yang dekat capitol. saya sebenernya ingin sekali nanya sama mereka, kenapa sih memilih untuk mengemis begitu. tapi sampai hari ini belum kesampean, soalnya takut salah ngomong. anyway, orang-orang ini mangkal di situ enggak cuma waktu spring atau summer aja lho. di musim dingin pun mereka tahan berdiri berjam-jam di luar sambil mengacung-acungkan gelas dan berkata pada orang2 yang lewat, "spare your change" atau "bagi dong recehan mu".

saya enggak mau menilai atau mengomentari pilihan yang diambil para pengemis itu. bagi saya, keberadaan mereka sudah cukup untuk menunjukkan satu hal: bahwa di amerika sekalipun kemiskinan itu nyata. saya justru tertarik untuk mempelajari langkah yang diambil pemerintah amerika dalam menghadapi masalah kemiskinan ini.

dari beberapa literatur, saya ketahui bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan di amerika dimulai pada era new deal. pada waktu itu, tidak banyak pembuat kebijakan yang setuju dengan ide public assistance atau pemberian tunjangan hanya semata-mata di dasarkan pada kemiskinan seseorang. presiden pada waktu itu, rosevelt, berpandangan bahwa jika tanpa memberikan kontribusi apapun seseorang dikasih duit, lama-kelamaan akan tumbuh jiwa rendah diri dan pemalas dalam orang tersebut. terus dia bilang, jika banyak orang amerika yang rendah diri dan malas, maka amerika enggak bisa maju. dengan bekerja maka orang bisa bebas dari kemiskinan. karena itu, dia menyimpulkan, supaya amerika maju dan supaya orang2 bisa bebas dari kemiskinan, maka alokasi uang untuk public assistance harus kecil dan seleksinya harus sangat ketat. di sisi yang lain, sebagai insentif agar orang2 terdorong untuk mencari kerja, rosevelt mengalokasikan dana hasil pajak yang cukup besar untuk membiayai program welfare, yaitu program yang memberikan tunjangan tambahan kepada para pekerja.

sebenernya kebijakan rosevelt itu punya bias rasial yang sangat kental. pada waktu itu, secara faktual orang-orang yang benar-benar miskin itu kebanyakan berkulit hitam. orang-orang ini sulit sekali mendapat pekerjaan, karena diskriminasi rasial dalam perekrutan pegawai sangat dominan. kondisi ini membuat program welfare cenderung menguntungkan mereka yang berkulit putih saja, karena mereka lah yang bisa mendapat pekerjaan.

saat ini, walaupun peraturan mengenai equal opportunity employment sudah ada, pandangan pemerintah amerika terhadap program pengentasan kemiskinan ini tetap lah sama: alokasi budget untuk public assistance harus yang paling kecil. pada satu sisi saya setuju dengan pandangan bahwa sebaiknya pemerintah tidak membuat kebijakan pengentasan kemiskinan yang membuat si miskin malas atau rendah diri. tetapi di sisi yang lain, saya juga berpendapat bahwa kebijakan itu menjadi tidak bijaksana, karena secara faktual kesempatan si fakir miskin itu untuk bekerja sangat lah sempit. disinilah kegagalan program welfare pemerintah amerika, yaitu dalam menyediakan lapangan kerja yang berimbang dengan jumlah para pencari nya.

beranjak dari pemahaman seperti itu, saya kini menyadari bahwa solusi untuk mengatasi kemiskinan cuma satu: bekerja. jika sulit masuk ke lapangan pekerjaan yang diciptakan orang lain, berusahalah untuk bikin lapangan sendiri. trust in god, trust in yourself, dan jangan pernah takut gagal.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home